Dulu,
ada sehelai langit
yang meneduhiku di musim hujan,
yang menjelma payung dari petir
dan pelukan saat angin ingin mengguncang.
Ia adalah atap—
tak megah, tapi hangat.
Suaranya dulu seperti nada doa
yang kupeluk sebelum tidur,
dan kurindukan tiap pagi datang.
Tapi kini,
langit itu retak dalam diam.
Dari celahnya jatuh hujan
yang bukan lagi menyejukkan,
melainkan melukai.
Payung itu kini menusuk tanah,
bukan untuk melindungi,
tapi untuk meninggalkan.
Ia tak lagi bicara dalam bisik,
melainkan gelegar petir yang tak kunjung reda.
Setiap katanya melesat
seperti panah kehilangan arah.
Aku berdiri,
di bawah bayangan yang dulu kusebut rumah,
kini seperti reruntuhan
yang kutapaki dengan hati-hati—
takut menginjak serpihan luka
yang tak sempat kubenahi.
Dan di mataku,
langit itu masih ada,
tapi tak lagi biru,
tak lagi teduh.
Hanya riuh,
dan aku tak tahu
di mana harus berteduh lagi.