Aku berjalan,
tanpa trompet kemenangan,
tanpa sorakan dari langit atau tanah.
Hanya langkah kecil,
dan doa-doa yang kugenggam rapat,
karena takut jatuh sebelum sempat sampai.
Aku tidak ingin dikasihani,
karena luka di dalamku
Tapi jika Tuhan melihat
bahwa aku terus berlari walau tak punya alas kaki,
maukah Ia tersenyum—sekali saja—dan berkata:
“Sudah cukup. Sekarang giliranmu menang.”
Setiap malam aku menenun impian
dari benang-benang lelah yang hampir putus.
aku berjuang meraih mimpi itu,
bukan sekadar nama,
tapi pintu yang mungkin membuka dunia,
yang selama ini hanya bisa kulihat dari balik jendela kecil.
Aku tahu,
tak semua perjuangan berbuah tepat waktu.
Tapi jika aku sabar,
dan tak menyerah walau angin menampar wajahku,
bisakah aku berharap Tuhan akan menatapku
dengan mata yang penuh belas kasih—
bukan kasihan, tapi sayang?
Jika suatu hari aku duduk di kursi impian,
maukah Tuhan membisikkan:
"Aku tidak pernah meninggalkanmu.
Aku hanya ingin melihat,
apakah kamu tetap berjalan,
meski langit sedang tidak ramah padamu.