Langit yang Menyisakan Luka

 Pernah ada langit

yang kujadikan tempat berlindung,
yang kupeluk dengan percaya
saat dunia terasa terlalu dingin.

Langit itu tak sempurna—
tapi aku mencintainya,
karena di sanalah aku merasa cukup
untuk bernapas dan bertumbuh.

Tapi kini,
langit itu berubah.
Tak lagi menyelimuti,
melainkan menyengat dengan kilat
yang datang tanpa aba-aba.

Ia berteriak dalam badai,
mengguncang tanpa peduli
apakah tanah di bawahnya masih berdiri.

Aku, yang dulu mendongak
dengan mata penuh harap,
kini hanya bisa menunduk,
takut pada tatap yang seharusnya menjaga,
tapi kini menghakimi
dengan suara yang menggores.

Tak ada lagi pelukan,
hanya bayangan runcing
yang membayangi langkahku.

Langit itu masih di sana,
tapi tak lagi menjadi tempatku pulang.
Dan setiap kali hujan turun,
aku tak tahu mana yang lebih menyakitkan:
dinginnya tetes air
atau ingatan tentang hangat yang telah hilang.