Aku tak pernah menyebut namamu lagi,
tapi pikiranku masih tahu cara mengejanya.
Setiap hurufnya tinggal di sela napas,
tak bersuara,
tapi terasa.
Kadang kala,
aku terjebak di waktu yang telah lama berlalu.
Menatap kenangan yang membeku dalam bingkai digital,
tempat senyummu masih bisa kutemui,
tak berubah,
meski hatimu sudah bukan milikku.
Aku masih hafal alurmu,
seperti puisi lama yang tak pernah kubaca,
tapi tak pernah kulupa.
Kau kadang muncul,
sekadar mengetuk sunyiku yang pura-pura tenang.
Dan aku diam, bukan karena tak peduli,
tapi karena ingatanku belum sembuh benar.
Ada kisah yang dulu gagal kita selamatkan.
Sebagian karena badai,
sebagian karena tangan kita sendiri yang melepaskan tali.
Terkadang aku rindu…
bukan padamu yang sekarang,
tapi pada kita yang dulu:
pada sore-sore penuh tawa,
pada pelukan yang tak pernah dijanjikan
tapi terasa paling aman.
Pada perbincangan malam sebelum tidur,
yang menyelipkan tenang di sela rindu.
Pada jalan malam dan makan yang tak pernah mewah,
tapi cukup untuk membuat hatiku pulang.
Pada suaramu yang dulu seperti rumah,
menenangkan rindu
dengan nada yang tak pernah berubah.
Dan saat bayangmu melintas dari kejauhan,
hatiku selalu,
selalu…
menahan napas lebih lama.