Ada musim dingin yang menetap di dadaku,
bukan karena salju, tapi karena cinta pertama yang membekukan percaya.
Bukan pelukan hangat yang kuingat,
melainkan bayang-bayang yang menjelma badai dalam mimpi yang mestinya indah.
Aku tumbuh seperti bunga di tanah retak—
berharap mekar, tapi takut disiram.
Setiap cinta yang datang,
kutatap dengan mata haus namun kaki gemetar untuk melangkah.
Aku terkadang… terlalu lambat,
seperti bulan yang menyadari malam sudah hampir pagi.
Dan ketika aku ingin mencinta,
duniaku sudah terlanjur belajar cara bersembunyi.
Lihatlah wanita lain di luar sana,
mereka dicintai seperti puisi dibaca dengan penuh rasa.
Sedangkan aku?
Hanya goresan yang bahkan tak sempat ditulis di halaman pertama.
Terkadang aku bertanya,
apakah pelukan hangat memang bukan takdirku?
Apakah ada seseorang yang akan membaca hatiku
dan tidak takut pada gelap yang kupeluk terlalu lama?
Ya, aku pernah merusak hal-hal indah dengan tangan sendiri,
karena kukira aku tak pantas memilikinya.
Tapi…
jika semesta bersedia bersabar padaku,
maukah cinta juga menunggu?