Hari ini, aku memilih untuk tetap berjalan.
Bukan karena semuanya telah baik-baik saja,
tapi karena aku tahu—diam tak akan menyembuhkan.
Langkahku memang pelan,
kadang terseret oleh bayangan yang belum sempat kuajak berdamai,
tapi setiap langkah tetap kutapaki,
meski dunia tak tahu seberapa berat kakiku memikul kenangan.
Aku tidak butuh penjelasan dari mereka yang tak pernah duduk dalam sepatuku,
yang tak pernah tahu rasanya berharap sembari patah,
yang hanya melihat permukaan,
tanpa mengerti badai di balik tatapan yang pura-pura kuat.
Hatiku, pernah luka—
retaknya tak tampak di permukaan,
tapi gemanya menggema lama.
Dan kini, aku belajar memeluk luka itu,
bukan untuk menyesali,
melainkan agar aku tahu:
di mana batas rapuhku,
dan bagaimana caranya tumbuh dari reruntuhan.
Aku tidak membenci masa lalu.
Di sana ada tawa yang pernah tulus,
pelukan yang pernah hangat,
dan janji-janji yang—meski tak sampai—pernah membuatku percaya.
Tapi aku tidak akan tinggal di sana.
Karena masa lalu bukan rumah,
hanya tempat aku pernah singgah dan belajar.
Untuk dia yang pernah begitu dekat,
aku tak lagi bertanya “mengapa”.
Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan mengurai luka yang tak kunjung selesai.
Aku hanya ingin percaya bahwa ia juga sedang berproses,
dan jika ada doa yang bisa kutitipkan untuknya,
biarlah itu menjadi doa agar hidupnya juga pelan-pelan pulih.
Dan jika suatu hari semesta iseng mempertemukan lagi,
aku tidak ingin itu karena luka yang sama.
Aku ingin, bila kita bertemu,
itu karena kita telah tumbuh—
menjadi dua hati yang telah belajar mencintai
tanpa saling mengikis.
Aku berjalan,
dengan dada yang pernah sesak,
tapi kini mulai lapang.
Dengan hati yang pernah remuk,
tapi kini mulai berdenyut lagi.
Dan meski masih takut,
aku tahu:
aku sedang dalam perjalanan pulang,
kepada diriku sendiri.