Yang Pernah Kupanggil Cinta

 Pernah ada tangan yang kucari dalam gelap,

Bukan karena aku buta,
Tapi karena aku percaya.

Kau hadir seperti angin manis malam,
Menatapku seolah aku satu-satunya,
Menyebutku “cinta”,
Menggenggam tanganku seolah tak akan lepas.

Tapi malam demi malam kulalui sendiri,
Sementara kau sibuk sendiri,
Lambar laun aku lupa dan senyummu itu yang bukan untukku lagi.
Kau bilang kau tak suka hingar,
Katamu tenang adalah rumahmu.
Tapi entah mengapa, saat aku runtuh,
Kau justru paling tak terdengar.

Aku pernah mengecup pipimu dengan hati yang penuh,
Kau membalas dengan tiupan kosong,
Dan ketika aku mencintai dengan utuh,
Kau mencintai hanya setengah,
Setengah sadar,
Setengah bohong.

Kini, aku tahu,
Kau tak pernah benar-benar tinggal,
Hanya singgah—
Untuk menyesap sedikit rasa yang tak layak kau punya.

Dan aku?
Masih berdiri, tak lagi menangis.
Karena yang kuat bukan dia yang tak terluka,
Tapi dia yang belajar menyulam luka
menjadi gaun yang tak bisa dirobek oleh dusta.